Banda Aceh - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko menyebutkan bahwa pengolahan sampah elektronik di Indonesia masih belum berkembang dengan baik, salah satunya karena skala ekonomi yang rendah akibat volume sampah yang belum terlalu besar. Selain itu, biaya pengolahan sampah elektronik yang cukup tinggi turut menjadi penghambat utama.
"Pengolahan sampah elektronik seharusnya menjadi bagian dari supply chain industri, tetapi di Indonesia hal ini masih belum berkembang dengan optimal," ujar Handoko saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, kondisi ini menyebabkan banyak sampah elektronik hanya berhenti di pengepul dan penyortir, sebelum akhirnya diekspor ke luar negeri, seperti Tiongkok, untuk diproses secara masif. Dengan semakin banyaknya jenis elektronik yang beredar, jika sampah elektronik ini tidak dikelola dengan baik, dampaknya dapat mencemari lingkungan. Sampah elektronik mengandung berbagai mineral dan logam yang berbahaya jika tidak diproses dengan benar.
Jenis sampah elektronik yang dominan di Indonesia, menurut Handoko, kemungkinan besar adalah papan sirkuit bekas dari barang-barang elektronik konsumen seperti ponsel. "Meskipun saya tidak memiliki data pastinya, secara umum, jenis sampah elektronik yang paling banyak adalah papan sirkuit bekas," ungkapnya.
Handoko juga menekankan pentingnya pengolahan sampah elektronik dengan metode yang tepat untuk mengekstraksi logam berbahaya dan bahan lainnya. Hal ini agar bahan-bahan tersebut bisa dimanfaatkan kembali atau dibuang tanpa menimbulkan kerusakan pada lingkungan.
Sebagai langkah untuk mengatasi permasalahan ini, BRIN tengah mengembangkan teknologi ekstraksi yang lebih efisien dan terjangkau untuk pengolahan sampah elektronik. Penelitian terkait teknologi ini dilakukan bekerja sama dengan Pusat Riset Teknologi Pertambangan BRIN.
"Karena volume sampah elektronik di Indonesia masih relatif kecil, fokus saat ini adalah pada pengumpulan dan penyortiran sampah. Jika belum memenuhi skala ekonomi untuk diekstrak, sampah tersebut terpaksa diekspor ke negara yang memiliki industri ekstraksi yang lebih maju, seperti Tiongkok," jelas Handoko.